Album SLB Mentari Kita

Selasa, 22 November 2011

GAJI GURU DAN PROFESIONALISME GURU

Rencana pemerintah untuk menaikkan gaji para guru pada tahun ini, sesungguhnya menarik untuk dicermati. Kebijakan baru tersebut, paling tidak akan direspon secara positif oleh kalangan pendidik. Bahkan, sudah beberapa kali kalangan pendidik, mencoba melontarkan kenaikan gaji sejak krisis berlangsung. Namun, baru kali ini, kebijakan pemerintah paling tidak akan membantu mengurangi beban ekonomi para guru di masa krisis.

Penambahan gaji guru, paling tidak menyisakan sebuah konsekuensi. Logika yang acapkali dilontarkan adalah, menyangkut kinerja professional para guru. Akankah kinerja mereka menjadi meningkat setelah dinaikkan gajinya ? Atau malah tetap dan stagnan saja. Ini persoalannya.
Akan tetapi, seperti yang dilaporkan oleh World Bank dalam Educational Sector Strategy (2001), terdeteksi bahwa ada beberapa langkah untuk bisa mendorong kinerja para pendidik, menuju sosok guru yang berkualitas. Yakni, pertama, melaksanakan preservice training bagi guru yang dikonsentrasikan pada penguasaan materi, pengembangan kemampuan belajar dan pengembangan penguasaan metodologi pengajaran.
Yang kedua, adalah memberdayakan dan memotivasi guru dengan cara meningkatkan kesejahteraan dan memberi jaminan pengembangan karier kependidikan. Penghargaan ekonomi, adalah varian dan motivator kuat bagi tercapainya sosok guru yang berkualitas. Ketiga, menciptakan lingkungan klerja yang kondusif. Lingkungan ini lebih berkait dengan motivasi belajar siswa, ketersediaan fasilitas dan kebijakan pemerintah yang mendukung.
Berangkat dari asumsi tersebut, setidaknya ada optimisme, bahwa dengan gaji yang naik, tinggi ataupun standar, para guru akan termotiviasi. Namun, optimisme ini jangan terlalu berlebihan. Sebab, kinerja menuju guru professional bukan terletak pada satu aspek tersebut.
Yang pasti akan banyak faktor yang mempengaruhi guru menjadi sosok pendidik yang berkualitas. Apalagi jika dikaitkan dengan era otonomi dunia pendidikan. Sebab, di era otonomi pendidikan, paling tidak pemerintah daerah akan mempunyai peran yang besar dalam menentukan, menciptakan kualitas guru yang dibutuhkan oleh setiap daerahnya.

Peran Strategis
Guru yang profesional dan efektif, memegang peran keberhasilan pendidikan siswa. Kunci sukses kegiatan belajar mengajar hanya akan tercapai, jika guru benar-benar mampu melaksanakan profesionalitas kerjanya. Seperti diungkapkan dalam penelitian John Goodladd (Behind The Classroom Doors, 1998) praktisi pendidikan Amerika, terungkap bahwa peran guru sangat signifikan dalam keberhasilan proses pembelajaran.
Ketika seorang guru memasuki kelas, dan menutup pintu, maka kualitas pembelajaran berhasil tidaknya ada di tangan guru. Kemana intensitas pendidikan kelas akan diarahkan, hanya guru-lah yang bisa mengendalikannya.
Dalam proses belajar mengajar di kelas, maka seorang guru akan mampu memotivasi, mendorong lahirnya kreativitas berpikir baru. Yang dalam teori McCleland diungkapkan sebagai sosok yang mampu memacu siswa berpikir secara divergent dengan memberikan berbagai pertanyaan yang jawabannya tidak sekadar terkait dengan fakta: ya atau tidak !
Peran guru bisa diupayakan dalam fase klimaksnya. Dengan merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban-jawaban kreatif, imajinatif, hipotetik dan sintetik (thought provoking question).
Dalam paradigmanya yang lain, guru juga mampu memunculkan kesan yang : membosankan, sekadar instruktif dan justru dijauhi para siswanya. Kinerja guru semacam ini, pada akhirnya akan mampu mematikan kreativitas dan menciptakan stagnasi proses pembelajaran itu sendiri. 
Selain itu yang paling menyakitkan adalah berpeluang untuk bisa menumpulkan daya nalar, menisbikan dimensi afektif. Mungkin guru yang masuk ketegori semacam ini, kuantitasnya lebih banyak, jika dibandingkan dengan sosok guru yang memang bernar-benar tampil dalam kapasitasnya yang professional. 
Maka, setidaknya ada beberapa pijakan untuk bisa menjadi guru yang profesional dan efektif. Maka sosok guru yang professional, mewakili kriteria. Yakni, pertama, mempunyai kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dalam sebuah proses pembelajaran.
Guru, setidaknya eksis dengan kapasitasnya memberikan respon-respon positif terhadap kreativitas siswa, mendorong siswa mempunyai produktivitas kognitif, serta dapat membantu setiap kebutuhan siswa secara professional.
Kedua, mempunyai kemampuan interpersonal dalam memberikan empati dan penghargaan kepada setiap siswa. Dalam proses pembelajaran, siswa sangat membutuhkan wilayah untuk didengarkan, sebab definisi proses pembelajaran adalah bentuk komunikasi dua arah. Masing-masing subjek akan berperan dalam kapasitasnya. Namun, dalam setiap pengajaran peran guru bukanlah yang dominan, melainkan subjek siswa yang seharusnya diutamakan.
Ketiga, secara kongkret mempunyai kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri. Misalkan, guru harus mampu menerapkan kurikulum pengajaran dengan metoda mengajar yang inovatif, senantiasa terpacu untuk memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metoda-metoda pengajaran yang dinamis, atau secara kongkret mampu mengadaptasikan perencanaan dengan titik pengembangan cara pembelajaran yang relevan. 
Keempat, menjadi guru yang professional setidaknya benar-benar memahami strategi manajemen pembelajaran. Manajemen pembelajaran di sini meliputi strategi menghadapi siswa yang tidak mempunyai perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan pengajaran serta mampu memberikan substansi transisi siswa. Dalam kapasitasnya sebagai guru, sebisa mungkin juga mampu memberikan tugas dengan titik tekan pada peningkatan cara berpikir siswa.
Setidaknya dari uraian tersebut sungguh berat rasanya. Namun ini mutlak untuk diupayakan, dalam rangka mencapai sosok guru yang professional. Menjadi guru yang berkualitas, sudah menjadi kemutlakan (taken for granted). Sebab, zaman kali ini telah memaksa dunia pendidikan untuk bisa meningkatkan daya kompetitifnya yang maksimal.

Tantangan Berat
Guru yang profesional, harus segera diwujudkan. Terlebih di era otonomi daerah, dengan acuan kompetisi global yang sungguh ketat. Bayangkan saja, jika melihat peringkat dunia pendidikan kita berada di urutan ke-109 di tahun 2000. Untuk meraih posisi yang lebih meningkat, bukan jalan yang mudah. Sebab, salah satu yang memegang kendali paling dominan adalah bagaimana mempunyai tenaga pendidik yang memang benar-benar berkualitas.
Mencapai sosok guru yang berkualitas dan mampu melahirkan daya saing pendidikan tidak sekadar menaikkan gaji. Konteks globalisasi, lebih memaksa para guru mampu memberikan materi-materi ajar yang relevan dengan kebutuhan zaman, yang diajarkan dengan sebuah metoda pengajaran yang dinamis.
Metoda pengajaran yang dinamis, setidaknya harus dipunyai oleh mereka yang ingin benar-benar menjadi professional di dunia pendidikan. 
Maka, menjadi guru yang profesional berarti mempunyai militansi individual, sadar akan sistem sanksi profesi, mempunyai landasan pengetahuan nalar yang kuat, mampu bekerja sama dalam sebuah sistem pendidikan formal terkecil sekolah. 
Untuk itulah, dengan naiknya gaji, ternyata salah satu tuntutan yang terus bergulir deras adalah, bagaimana jika kalangan pendidik tampil lebih professional.Ini yang ideal. Tapi, tak perlu mempunyai optimisme yang terlalu tinggi. Sebab, dunia pendidikan, hingga saat ini masih saja menyimpan dimensi chaos-nya. 

Oleh :  Ermina Krismarsanti
(Seorang  pendidik, alumnus Fakultas Sastra UGM Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar