Album SLB Mentari Kita

Rabu, 02 Februari 2011

"ANAK TUNAGRAHITA RINGAN"

Istilah yang umum dikenal untuk anak tunagrahita ringan adalah debil, di kalangan pendidik Amerika (America Education) ialah educable mentally retarded yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya mampu didik.
Moh. Amin (1995;23), mengemukakan yang dimaksud anak tunagrahita ringan adalah:  mereka yang meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. IQ anak tunagrahita ringan berkisar 50-70.
Sutjihati  Sumantri (1996;86) mengemukakan bahwa: anak tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil, yakni mereka yang memiliki IQ 52-68 menurut Binet dan IQ 55-69 menurut scala  Wescheler (WISC). Mereka masih dapat diajar membaca, menulis dan berhitung sederhana, dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled dan tidak mampu menyesuaikan diri secara independen.
Y.B. Suparlan (1983;30) mengemukakan secara lebih spesifik sebagai berikut: IQ penderita debil antara 50-70 biasanya mereka juga disebut educable children,  karena mereka tidak saja dapat dilatih tetapi juga dapat dididik. Mereka dapat dilatih tentang tugas-tugas yang lebih tinggi (kompleks) dalam kehidupan sehari-hari, dapat pula dididik dalam bidang sosial dan intelektual. Pelajaran membaca, menulis dan berhitung dapat diajarkan menurut tingkat-tingkat tertentu.
Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan masih memungkinkan memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menurut tingkatan–tingkatan tertentu.

1.      Karakteristik
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa anak tunagrahita ringan mempunyai ciri dan kekhasan masing-masing, tetapi secara garis besar mereka mempunyai karakteristik yang hampir sama. Moh. Amin (1991;37) memberikan karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita ringan sebagai berikut:
karakteristik anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan katanya, mengalami kesukaran berfikir abstrak, tetapi masih dapat mengikuti pelajaran akademik. Pada umur 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12 tahun, sebagian tidak dapat mencapai umur kecerdasan seperti itu.

Selanjutnya dalam The News Amerika Webster (1956;301) bahwa: “Moron (debile) is person whose mentality dopes not develop beyond the 12 years old level”. Yang terjemahannya adalah kecerdasan berfikir seorang anak tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan akademik  anak tunagrahita ringan setinggi-tingginya adalah setingkat dengan anak kelas VI SD umum.

2.      Permasalahan anak tunagrahita ringan
Berkaitan karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki anak tunagrahita ringan tersebut, maka secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan berbagai macam permasalahan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh anak tunagrahita ringan antara lain:
a.       Masalah hambatan dalam belajar
Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.
Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek. Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba, mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat.
b.      Masalah penyesuaian diri
Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan di mana mereka berada.Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memehami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita.
c.       Masalah pemeliharaan diri
Pada umumnya anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri, mengetahui cara menghadapi dan menghindari bahaya yang dapat merugikan keselamatan diri. Walaupun begitu dengan bimbingan yang tepat, diharapkan anak  anak tunagrahita ringan masih mampu mandiri.
d.      Masalah pekerjaan
Anak tunagrahita walaupun dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled, tapi masih membutuhkan pengawasan, dan juga peluang kerja yang terbatas bagi mereka karena kurangnya penerimaan masyarakat, sehingga sedikit sekali yang sudah benar-benar mandiri. Untuk mengantisipasi hal ini perlu adanya kerjasama dari semua pihak sekolah hendaknya memberikan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pihak masyarakat diharapkan mau menerima tenaga kerjaanak tunagrahita.
e.       Masalah kepribadian
Anak-anak tunagrahita memiliki ciri kepribandian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang dibentuk oleh faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambatan dalam perkembangan kepribadian. Alasan-alasan tersebut antara lain:
1)      Isolasi dan penolakan
Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tungrahita cenderung tidak mempunyai teman, mereka menjadi tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan.
Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita ditolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribandian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.
2)      Labeling dan stigma
Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma). Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam antara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.
3)      Stres keluarga
Para ilmuwan psikologi, sosiologi dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirannya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaikan diri.
Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan stress dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti itu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.
4)      Frustasi dan kegagalan
Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frustrasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.
5)      Kesadaran rendah
Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian adalah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif.
Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami kekurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat.
f.       Masalah perkembangan bahasa
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah ganguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan. Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara.
Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh keterampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal, 6) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar